Irvanuddin |
Pendekatan Sejarah Dalam Studi
Islam
Oleh : Irvanuddin
Disampaikan
Dalam Kegiatan Perkuliahan
Mata
Kuliah “Metodologi Studi Islam”
Tanggal
13 Februari 2011, Universitas Al-Washliyah (UNIVA) Medan
A. Pendahuluan
Islam telah
menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin
berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan
doktriner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya
terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus
memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban,
komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia. Mengkaji dan
mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan
metode dan pendekatan interdisipliner.
Kajian agama,
termasuk Islam, seperti disebutkan di atas dilakukan oleh sarjana Barat dengan
menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sehingga muncul sejarah agama,
psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam
perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan masyarakat
Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun juga masyarakat di negara-negara
berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme.
Sarjana Barat
sebenarnya telah lebih dahulu dan lebih lama melakukan kajian terhadap fenomena
Islam dari pelbagai aspek: sosiologis, kultural, perilaku politik, doktrin,
ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan
kesehatan, perkembangan minat dan kajian intelektual, dan seterusnya.
Sementara itu, agama atau
keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji
melalui berbagai sudut pandang. Islam khususnya, sebagai agama yang telah
berkembang selama empatbelas abad lebih menyimpan banyak banyak masalah yang
perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun
realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yang
dapat dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu adalah pendekatan sejarah.
Berdasarkan sudut pandang tersebut, Islam dapat dipahami dalam berbagai
dimensinya. Betapa banyak persoalan umat Islam hingga dalam perkembangannya
sekarang, bisa dipelajari dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa masa
lampau, sehingga segala kearifan masa lalu itu memungkinkan untuk dijadikan
alternatif rujukan di dalam menjawab persoalan-persoalan masa kini. Di sinilah
arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada khususnya, apakah sejarah sebagai pengetahuan
ataukah ia dijadikan pendekatan didalam mempelajari agama.
Bila sejarah dijadikan sebagai sesuatu pendekatan untuk mempelajari agama, maka sudut
pandangnya akan dapat membidik aneka-ragam peristiwa masa lampau. Sebab sejarah
sebagai suatu metodologi menekankan perhatiannya kepada pemahaman berbagai
gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala
agama atau keagamaan, merupakan ciri khas di dalam pendekatan sejarah. Karena
itu penelitian terhadap gejala-gejala agama berdasarkan pendekatan ini haruslah
dilihat segi-segi prosesnya dan perubahan-perubahannya. Bahkan secara kritis,
pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan
serta keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa,
melainkan juga mampu memahami gejala-gejala struktural yang menyertai
peristiwa. Inilah pendekatan sejarah yang sesungguhnya perlu dikembangkan di dalam penelitian masalahmasalah agama.
Makalah ini berusaha membahas
tentang karakteristik pendekatan sejarah sebagai salah satu pendekatan di dalam
Studi Islam dengan didahului pembahasan seputar aspek Studi Islam.
B. Studi Islam Sebagai Disiplin Ilmu
Munculnya istilah Studi Islam, yang di dunia Barat dikenal dengan
istilah Islamic Studies, dalam dunia Islam dikenal dengan Dirasah Islamiyah, sesungguhnya telah didahului oleh
adanya perhatian besar terhadap disiplin ilmu agama yang terjadi pada abad ke
sembilan belas di dunia Barat. Perhatian ini di tandai dengan munculnya
berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: buku Intruduction to The Science
of Relegion karya F.
Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de
la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu
Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl
(1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) dan sebagainya. Amirika menghasilkan
tokoh seperti William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious
Experience (1902).
Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) dari Polandia, Mircea
Elaide dari Rumania. Itulah sebagian nama yang dikenal dalam dunia ilmu agama,
walaupun tidak seluruhnya dapat penulis sebutkan di sini.
“Tidak hanya di Barat, di Asia
pun muncul beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang muncul J. Takakusu yang berjasa
memperkenalkan Budhisme pada penghujung abad kesembilan belas dan T. Suzuki dengan sederaetan karya ilmiahnya tentang Zen Budhisme. India
mempunyai S Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun
filsafat India, Moses D. Granaprakasam, Religious Truth an relation between Religions (1950), dan P. D. Devanadan, penulis The Gospel and Renascent
Hinduism, yang
diterbitkan di London pada 1959. dan filsafat analitis”[1].
“Berbeda dengan dunia Barat, Ilmu
Agama (baca: Studi Islam) di dunia Islam telah lama muncul.
Dalam dunia Islam dikenal beberapa tokoh dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam
bidang yurisprudensi (hukum) dikenal tokoh seperti Abu Hanifah, Al-Syafi’I,
Malik, dan Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir dikenal tokoh seperti
Al-Thabary, Ibn Katsir, Al-Zamahsyari, dan sebagainya pada sekitar abad kedua
dan keempat hijriyah. Dan akhirnya muncul tokoh-tokoh abad kesembilan belas
seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Abad kedua puluh seperti Musthafa
al-Maraghy, penulis Tafsir al-Maraghy.Di bidang kalam pun muncul
tokh-tokoh besar dari berbagai aliran: Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Asy’ariyah,
dan Mu’tazilah. Penulis bidang ini antara lain; al-Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughnydan Syarah al-Ushul al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf
melahirkan tokoh-tokoh seperti al-qusyairi yang terkenal dengan Kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-Sarraj al-Thusy
(w. 378 H), penulis al-Luma’, Al-Kalabadzi,
penulis al-ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf,Abdul
Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy, dan sebagainya”[2].
Walaupun secara realitas studi
ilmu agama (baca: studi Islam [agama]) keberadaannya tidak terbantahkan,
tetapi dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan
apakah ia (Studi Islam) dapat
dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan karakteristik
antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar permasalahan
ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah
misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi
Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas,
lalu apa bedanya dengan kegiatan pengajian dan dakwah yang sudah ramai
diselenggarakan di luar bangku sekolah? Merespon sinyalemen tersebut menurut
Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope wilayah kajian studi
Islam atau Dirasah Islamiyah berakar pada kesukaran seorang agamawan untuk
membedakan antara yang bersifat normative dan histories. Pada tataran normativ
kelihatan Islam kurang pas kalau dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan
untiuk dataran histories nampaknya relevan.
Tidak hanya kesukaran yang
dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen dan guru juga mengalami
hal yang sama. Banyak dijumpai seorang guru atau dosen yang tidak mengerti
fungsi dan substansi mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Sehingga
banyak murid atau mahasiswa yang tidak memahami apa yang mereka pelajari,
sungguh ironis.
“Pada tataran normativitas studi
Islam agaknya masih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak
, romantis, dan apologis, sehingga kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah
produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan
para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas”[3].
Dengan demikian secara sederhana
dapat ditemukan jawabannya bahwa dilihat dari segi normatif sebagaimana yang
terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka Islam lebih merupakan agama yang
tidak dapat diberlakukan kepadanya paradigma ilmu ilmu pengetahuan yaitu
paradigma analitis, kiritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama,
Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Sedangkan jika
dilihat dari segi historis, yakni Islam dalam arti yang dipraktekkan oleh
manusia serta tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia, maka Islam dapat
dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Ke-Islaman, Islamic Studies,
atau Dirasah Islamiyah.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat
menimbulkan perbedaan dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat
dari sudut normatif, maka Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran
Tuhan yang berkaitan dengan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam
dilihat dari sudut histories atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat,
maka Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).
Selanjutnya studi Islam sebagaimana yang dikemukakan di atas, berbeda pula dengan apa
yang disebut sebagai Sains Islam. “Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan
oleh Sayyed Husen Nasr adalah sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak
abad kedua hijriyah, seperti kedokteran, astronomi, dan lain sebagainya”[4].
Dengan demikian sains Islam
mencakup berbagai pengetahuan modern yang dibangun atas arahan nilai-nilai
Islami. Sementara studi Islam adalah pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran
Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan
manusia. Sedangkan pengetahuan agama adalah pengetahuan yang sepenuhnya diambil
dari ajaran-ajaran Allah dan Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi oleh
sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-Qur’an dan akhlak.
Berdasarkan uraian di atas, berkenaan dengan Studi Islam sebagai sebuah disiplin
ilmu tersendiri sangat terkait erat dengan persoalan metode dan pendekatan yang
akan dipakai dalam melakukan pengkajian terhadapnya. Inilah yang menjadi topik
utama dalam kajian makalah ini.
Metode dan pendekatan dalam Studi Islam mulai diperkenalkan oleh para pemikir Muslim
Indonesia sekita tahun 1998 dan menjadi mejadi matakuliah baru dengan nama
Metodologi Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup Perguruan Tinggi Agama
Islam di Indonesia.
C. Pertumbuhan dan Obyek Studi Islam
Studi Islam, pada masa-masa awal,
terutama masa Nabi dan sahabat, dilakukan di Masjid. “Pusat-pusat studi Islam
sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, Sejarawan Islam kontemporer, berada di Hijaz berpusat Makkah dan Madinah; Irak berpusat di Basrah
dan Kufah serta Damaskus. Masing-masing daerah diwakili oleh sahabat ternama[5].
Pada masa keemasan Islam, pada
masa pemerintahan Abbasiyah, studi Islam di pusatkan di Baghdad,Bait al-Hikmah. Sedangkan pada pemerintahan Islam di
Spanyol di pusatkan di Universitas Cordova pada pemerintahan Abdurrahman III
yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas al-Azhar yang didirikan oleh
Dinasti Fathimiyah dari kalangan Syi’ah.
Studi Islam sekarang berkembang hampir di seluruh negara di
dunia, baik Islam maupun yang bukan Islam. Di Indonesia studi Islam
dilaksanakan di UIN, IAIN, STAIN. Ada juga sejumlah Perguruan Tinggi Swasta
yang menyelengggarakan Studi Islam seperti Unissula (Semarang) dan Unisba
(Bandung).
Studi Islam di negara-negara non
Islam diselenggarakan di beberapa negara, antara lain di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarch University India, Studi Islam
di bagi mnjadi dua: Islam sebagai doktrin di kaji di Fakultas Ushuluddin yang
mempunyai dua jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab
Syi’ah. Sedangkan Islam dari Aspek sejarah di kaji di Fakultas Humaniora dalam
jurusan Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies
Program di kaji di Fakultas Humaniora yang membawahi juga Arabic Studies,
Persian Studies, dan Political Science.
Di Chicago, Kajian Islam
diselenggarakan di Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada
di bawah Pusat Studi Timur Tengah dan Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur
Dekat. Dilembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran
Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.
Di Amirika, studi Islam pada umumnya mengutamakan studi sejarah Islam,
bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra dan ilmu-ilmu social. Studi
Islam di Amirika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur
Dekat.
“Di UCLA, studi Islam dibagi
menjadi empat komponen. Pertama, doktrin dan sejarah Islam; kedua, bahasa Arab;
ketiga, ilmu-ilmu social, sejarah, dan sosiologi. Di London, studi Islam
digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (Fakultas Studi
Ketimuran dan Afrika) yang memiliki berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan di
Asia dan Afrika”[6].
Dengan demikian obyek studi Islam dapat dikelompokkan menjadi
beberapa bagian, yaitu, sumber-sumber Islam, doktrin Islam, ritual dan
institusi Islam, Sejarah Islam, aliran dan pemikiran tokoh, studi kawasan, dan
bahasa.
D. Metode dan Pendekatan Sejarah
dalam Studi Islam
Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) menjadi disiplin ilmu tersendiri. Maka telebih dahulu harus
di bedakan antara kenyataan, pengetahuan, dan ilmu.
“Setidaknya ada dua kenyataan
yang dijumpai dalam hidup ini. Pertama, kenyataan yang disepakati(agreed reality), yaitu segala sesuatu yang dianggap
nyata karena kita bersepakat menetapkannya sebagai kenyataan; kenyataan yang
dialami orang lain dan kita akui sebagai kenyataan. Kedua, kenyataan yang
didasarkan atas pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya dua jenis kenyataan
itu, pegetahuan pun terbagi menjadi dua macam; pengetahuan yang diperoleh
melalui persetujuan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman langsung
atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh dengan cara mempercayai apa yang
dikatakan orang lain karena kita tidak belajar segala sesuatu melalui
pengalaman kita sendiri”[7].
Bagaimanapun beragamnya
pengetahuan, tetapi ada satu hal yang mesti diingat, bahwa setiap tipe
pengetahuan mengajukan tuntutan (claim) agar
orang membangun apa yang diketahui menjadi sesuatu yang sahih (valid) atau benar (true).
Kesahihan pengetahuan benyak bergantung pada sumbernya. Ada dua
sumber pengetahuan yang kita peroleh melalui agreement: tradisi dan autoritas.
Sumber tradisi adalah pengetahuan yang diperoleh melalui warisan atau transmisi
dari generasi ke generasi (al-tawatur). Sumber pengetahuan kedua adalah
autoritas (authority), yaitu pengetahuan yang dihasilkan
melalui penemuan-penemuan baru oleh mereka yang mempunyai wewenang dan keahlian
di bidangnya. Penerimaan autoritas sebagai pengetahuan bergantung pada status
orang yang menemukannya atau menyampaikannya.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu
dalam arti science menawarkan dua bentuk pendekatan terhadap kenyataan (reality), baik
agreed reality maupun experienced reality, melalui penalaran personal, yaitu pendekatan khusus untuk menemukan kenyataan itu. Ilmu menawarkan
pendekatan khusus yang disebut metodologi, yaitu
ilmu untuk mengetahui.
Metode terbaik untuk memperoleh
pengetahuan adalah metode ilmiah (scientific method). Untuk memahami metode ini terlebih
dahulu harus dipahami pengertian ilmu. Ilmu dalam arti science dapat dibedakan dengan ilmu dalam arti pengetahuan (knowledge). Ilmu
adalah pengetahuan yang sistematik. Ilmu mengawali penjelajahannya dari
pengalaman manusia dan berhenti pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian
ini tidak mempelajari ihwal surga maupun neraka karena keduanya berada diluar
jangkauan pengalaman manusia. Demikian juga mengenai keadaan sebelum dan
sesudah mati, tidak menjadi obyek penjelajahan ilmu. Hal-hal seperti ini
menjadi kajian agama. Namun demikian, pengetahuan agama yang telah tersusun
secara sistematik, terstruktur, dan berdisiplin, dapat juga dinyatakan sebagai
ilmu agama.
Menurut Ibnu Taimiyyah ilmu apapun mempunyai dua macam sifat:
tabi’ dan matbu’. Ilmu yang mempunyai sifat yang pertama ialah ilmu yang
keberadaan obyeknya tidak memerlukan pengetahuan si subyeknya tentang
keberadaan obyek tersebut. Sifat ilmu yang kedua, ialah ilmu yang keberadaan
obyeknya bergantung pada pengetahuan dan keinginan si subyek.
Berdasarkan teori ilmu di atas,
ilmu di bagi kepada dua cabang besar. Pertama ilmu tentang Tuhan, dan kedua
ilmu tentang makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Ilmu pertama melahirkan ilmu kalam
atau teology, dan ilmu kedua melahirkan ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan
metodologi dalam arti umum. Ilmu-ilmu kealaman dengan menggunakan metode ilmiah
termasuk kedalam cabang ilmu kedua ilmu ini.
Ilmu pada kategori kedua, menurut
Ibnu Taimiyyah dapat dipersamakan dengan ilmu menurut pengertian para pakar ilmu modern, yakni ilmu yang didasarkan atas prosedur metode
ilmiah dan kaidah-kaidahnya. Yang dimaksud metode di sini adalah cara
mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematik. Sedangkan kajian
mengenai kaidah-kaidah dalam metode tersebut disebut metodologi. Dengan
demikian metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hipotetico-verifikasiyang
merupakan gabungan dari metode deduktif dan induktif. Dalam kontek inilah ilmu
agama dalam Studi Islam (Islamic Studies) yang menjadi disiplin ilmu tersendiri,
harus dipelajari dengan menggunakan prosedur ilmiah. Yakni harus menggunakan
metode dan pendekatan yang sistematis, terukur menurut syarat-syarat ilmiah.
Dalam studi Islam dikenal adanya
beberapa metode yang dipergunakan dalam memahami Islam. Penguasaan dan ketepatan pemilihan metode tidak dapat dianggap sepele. Karena penguasaan
metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang dapat mengembangkan ilmu yang
dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi
konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen. Oleh karenanya disadari bahwa
kemampuan dalam menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan
kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat
dikembangkan.
“Diantara metode studi Islam yang
pernah ada dalam sejarah, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Pertama,
metode komparasi, yaitu suatu cara memahami agama dengan membandingkan seluruh aspek yang ada dalam agama Islam tersebut dengan agama lainnya.
Dengan cara yang demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan
utuh. Kedua metode sintesis, yaitu suatu cara memahami Islam yang memadukan
antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif, kritis, dan
seterusnya dengan metode teologis normative. Metode ilmiah digunakan untuk
memahami Islam yang nampak dalam kenyataan histories, empiris, dan sosiologis.
Sedangkan metode teologis normative digunakan untuk memahami Islam yang
terkandung dalam kitab suci. Melalui metode teologis normative ini seseorang
memulainya dari meyakini Islam sebagai agama agama yang mutlak benar. Hal ini
di dasarkan kerena agama berasal dari Tuhan, dan apa yang berasal dari Tuhan mutlak
benar, maka agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama
sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia
yang secara keseluruhan diyakini amat ideal”[8].
“Metode-metode yang digunakan
untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dpandang tidak cukup lagi, sehingga
diperlukan adanya pendekatan baru yang harus terus digali oleh para pembaharu.
Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan
dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yang
digunakan dalam memahami agama. Diantaranya adalah pendekatan teologis
normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, dan
pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan dalam
konteks penelitian), adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam
satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam
hubungan ini, Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa agama dapat diteliti dengan
menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai
nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada
persoalan apakah penelitian agama itu penelitian ilmu social, penelitian
filosofis, atau penelitian legalistic[9].
Mengenai banyaknya pendekatan ini, penulis tidak akan
menguraikan secara keseluruhan pendekatan yang ada, melaikan hanya pendekatan
histories sesuai dengan judul di atas, yakni pendekatan histories.
“Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yang di dalamnya
dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsure tempat, waktu, obyek,
latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini segala
peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana,
apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut”[10].
Melalui pendekatan sejarah
seorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat emiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan
atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di
alam empiris dan histories.
Pendekatan kesejarahan ini amat
dibutuhkan dalam memahami agama, karena gama itu sendiri turun dalam situasi
yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatan. Dalam
hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama
yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari
al-Qur’an ia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian kedua berisi kisah-kisah
sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapati banyak sekali istilah
al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin
etik, aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya.
Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari
konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an,
atau bias jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung
adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah
itu kemudian dintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Qur’an, dan dengan
demikian, lalu menjadi onsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep
baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat,
Akherat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya adalah termasuk yang abstrak. Sedangkan
konsep tentang fuqara’, masakin, termasuk yang konkret.
“Selanjutnya, jika pada bagian
yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif
mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian yang kedua yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh
hikmah”[11].
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang
sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorag
tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin
memahami al-Qur’an secara benar misalnya, yang bersangkutan harus memahami
sejarah turunnya al-Qur’an atau kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya
al-Qur’an yang selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-nuzul yang pada intinya
berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan dapat
mengetahui hikmah yang terkadung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hokum
tertentu, dan ditujukan untuk memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.
E. Penutup
Islamic Studies atau Pengkajian Islam
adalah sebuah disiplin yang sangat tua seumur dengan kemunculan Islam sendiri. Pengkajian Islam dalam sejarah panjangnya mewujud dalam
berbagai tipe dan menyediakan lahan yang sangat kaya bagi kegelisahan akademik
dari kalangan insider maupunoutsider. Jika Studi outsider terwadahi dalam bentuk Orientalisme
atau Islamologi, maka kajian insidermemunculkan model ngaji yang berorientasi
pengamalan, apologis yang memberi counter terhadap orientalisme, Islamisasi
ilmu yang berupaya memberikan landasan paradigma Islam bagi ilmu-ilmu
sekuler atau studi Islam klasik yang bersifat kritis namun masih
berorientasi pada pengamalan.
Sebagai objek studi, Islam harus didekati dari berbagai aspeknya dengan menggunakan
multidisiplin ilmu pengetahuan untuk mengurai fenomena agama ini. Salah satunya
adalah melalui pendekatan sejarah yang tidak dapat diabaikan begitu saja bagi
seseorang yang ingin memahami tentang Islam dengan benar.
F. Daftar Pustaka
Ø W.B. Sidjabat, Penelitian
Agama: Pendekatan dari Ilmu Agama”, dalam Mulyanto Sumardi (ed.),Penelitian
Agama, Jakarta:
Sinar Harapan, 1982.
Ø Juhaya S. Praja, Filsafat
dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002.
Ø Amin Abdullah, Studi
Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta;1996, Cet. ke-1.
Ø Syed Husen Nasr, Menjelajah
Dunia Modern, (terj.)
Hasti Tarekat, dari judul asli A Young
Muslim’s Guide in The Modern World, Bandung: Mizan, 1995, Cet. ke-2.
Ø Ahmad Amin, Dhuha
al-Islam, Mesir: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, Tt. Tc.
Ø Atang Abdul Hakim, & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosda Karya,1997.
Ø Earl Babbie, The
Practice of Social Research, California:
Wadasworth Publishing Co., 1986.
Ø Abudin Nata, Metodologi
Studi Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Ø Taufik Abdullah dan M Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogyakarta, 1990, Cet. ke-2.
Ø Taufik Abdullah, (ed.), Sejarah
dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
[1]
W.B. Sidjabat, Penelitian
Agama: Pendekatan dari Ilmu Agama”, dalam Mulyanto Sumardi (ed.),Penelitian
Agama, Jakarta:
Sinar Harapan, 1982, hal 74.
[2] Juhaya
S. Praja, Filsafat
dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002, hal 21.
[3] Amin
Abdullah, Studi
Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta;1996, Cet. ke-1, hal
106.
[4] Syed
Husen Nasr, Menjelajah
Dunia Modern, (terj.)
Hasti Tarekat, dari judul asli A Young
Muslim’s Guide in The Modern World, Bandung: Mizan, 1995, Cet. ke-2., hal
93.
[6] Atang
Abdul Hakim, & Jaih Mubarok, Metodologi
Studi Islam, Bandung:
Rosda Karya,1997 hal 12.
[7] Earl
Babbie, The
Practice of Social Research, California:
Wadasworth Publishing Co., 1986, hal 5.
[8]
Abudin Nata, Metodologi
Studi Islam, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hal 112-113.
[9] Taufik
Abdullah dan M Rusli Karim (ed.), Metodologi
Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta, 1990, Cet. ke-2, hal 92.